Kisah Ibuku Tunanetra Chapter 5
? NOVELBASAH ? Setelah mandi, aku bergegas membeli lauk pauk untuk makan, karena perutku sudah terasa lapar sekali.
Sepulangnya dari warung nasi dekat rumah, kulihat Ibu sudah duduk di depan meja makan kecil dengan kursinya yang hanya dua buah.
Ibu sudah bisa masak nasi sendiri dengan magicom. Tapi belum bisa masak sendiri.
Pernah beliau berusaha masak sendiri sayur lodeh. Tapi hasilnya … sayur lodeh itu asin sekali, karena belum bisa mengatur banyaknya garam disesuaikan dengan banyaknya sayur mayur untuk bahan sayur lodeh itu.
Kalau sekadar menggoreng telor atau ayam, ibu sudah bisa melakukannya dengan baik. Tapi aku suka melarang ibu menyalakan kompor, karena takut kebakaran. Sehingga akhirnya kami mengandalkan lauk pauk dari warung nasi yang tak jauh dari rumah kami.
Meski aku berhari – hari tidak pulang, Ibu bisa belanja sendiri ke warung nasi dekat rumah itu. Karena aku selalu memberinya uang dalam pecahan seratusribuan, agar beliau tidak salah memberikan uang dan mengerti berapa kembaliannya dari warung nasi nanti.
Kalau keluar rumah sendirian, Ibu selalu membawa tongkat. Dan orang – orang suka membantunya kalau Ibu menemukan kesulitan.
Malam itu lauk pauk yang kubeli hanya ayam goreng dan sayur asem. Karena di warung nasi hanya tinggal dua macam teman nasi itu yang masih tersisa, maklum hari sudah mulai malam.
Setelah selesai makan malam, aku mengajak Ibu nonton tivi dulu di ruang tengah. Sambil menurunkan dulu isi perut. Namun pada saat itu aku tidak konsen ke acara di tivi, karena Ibu merebahkan kepalanya di atas pahaku, sementara tanganku pun mulai merayapi pahanya yang putih mulus itu.
Hmm … seandainya Ibu bisa melihat seperti orang normal, pasti Ibu bisa disukai oleh banyak lelaki. Karena selain tubuhnya yang indah dan kulitnya yang putih mulus, Ibu juga punya wajah yang cantik sekali. Bahkan sepasang matanya pun kelihatan seperti mata orang normal. Tidak seperti orang – orang tunanetra lainnya yang pada umumnya punya bentuk bola mata yang memperlihatkan bahwa mereka tunanetra. Sedangkan Ibu sedikit pun tidak kelihatan sebagai penyandang tunanetra. Kekurangan Ibu hanya kelihatan kalau sedang berjalan sambil membawa tongkatnya.
Ketika tanganku sudah mencapai kemaluannya, Ibu berkata, “Sebenarnya kita ini tidk boleh melakukannya ya Wan. Tapi mau diapain lagi, keadaan yang memaksa kita melakukannya. “
“Iya Bu … yang menciptakan nafsu birahi kan bukan kita. Kalau Ibu bisa melihat, mungkin sudah banyak yang ingin menikahi Ibu. “
“Iya … ibu kan belum tua – tua benar Wan. Aaaaaah … kalau memek ibu sudah dipegang – pegang gini, ibu langssung kepengen Wan. “
“Kita pindah ke kamar Ibu aja ya. “
Lalu kutuntun tangan Ibu menuju ke dalam kamarnya.
Ketika Ibu menanggalkan dasternya, aku pun melepaskan celana pendek dan baju kaus oblongku. Sehingga kami jadi sama – sama telanjang seperti Adam dan Hawa waktu baru diturunkan ke bumi (mungkin, hihihi).
Lalu kuterkam tubuh telanjang ibuku, dengan gairah yang sudah serasa hampir meledak di dalam batinku.
Entah kenapa, aku selalu merasa nyaman setiap kali mau menggauli ibuku ini. Kenyamanan yang tidak pernah kudapatkan pada diri Mbak Ninies sekali pun. Karena memang sebelum menyetubuhi ibuku, ada hasrat yang selalu kutindas, terutama kalau melihat ibuku sedang telanjang. Tapi kini aku takkan menindas – nindas lagi hasrat yang tadinya samar – samar itu.
Kini secara lahap aku mulai menjilati kemaluannya yang bersih dan agak tembem serta kelihatan bagian yang berwarna pinknya itu (setelah kumasukkan dua jari tanganku ke dalamnya, lalu kucabut lagi ketika liang kewanitaannya terasa sudah membasah).
Ibu pun mulai menggeliat – geliat sambil meremas – remas rambutku yang berada di bawah perutnya.
Erangan – erangan perlahannya pun mulai terdengar di telingaku, “Aaaaaah … Waaaan … aaaaahhh … Waaaan … aaaaah … Waaaaaannnn … iiiiyaaaa … itilnya itu jilatin terus Waaaan … iyaa ituuu … itu itil Waaan … jilatin terus … ooooooohhhhh … enak sekali Waaaan … enaaaaaak … jilatin teurs itilnya Waaaan … enak sekaliii … jilatin terus itilnya … itilnyaaaaa …. aaaaaaah …. Wawaaaaan …. “
Namun pada suatu saat Ibu berkata, “Sudah Wan … masukin aja kontolmu. Jangan nunggu memek ibu becek … “
Aku pun mengakhiri jilatanku. Ibu langsung menarik kedua lipatan lututnya, sehingga kedua pahanya berada di kanan – kiri perutnya, sementara kedua lututnya berada di samping sepasang payudara montoknya.
“Masukin kontolnya sambil berlutut Wan, biar masuk semuanya ke dalam liang memek ibu, “ kata Ibu.
Aku pun mengikuti saran Ibu. Sambil berlutut di antara kedua pangkal paha yang beliau rentangkan itu, kuletakkan moncongku di mulut memeknya yang ternganga kemerahan itu. Lalu kudesakkan penis ngacengku sekuatnya. Dan melesak masuk … blessssss … !
Berhasil membenam sampai amblas dan moncong penisku langsung mentok di dasar liang memek Ibu … !
Lalu mulailah aku mengentot ibuku sambil menahan kedua belah pahanya agar tetap mengangkang lebar begitu. Dengan gairah yang menggebu – gebu.
Memang benar kata Ibu. Dalam posisi seperti ini (diusebut hard missionary), setiap kali penisku didorong bisa selalu menyundul dasar liang memek Ibu. Bukan sekadar masuk dan tidak mencapai dasar liang kewanitaannya.
Hal itu membuat Ibu tampak sangat menikmatinya.
Memang aku pun pernah membaca bahwa di dasar liang kemaluan perempuan terdapat Gspot juga, katanya.
Tapi hanya belasan menit aku mengentot dalam posisi hard missionary ini, karena Ibu mulai menggelepar – gelepar, lalu terkejang – kejang sambil menahan nafasnya. Dan ketika kudiamkan dulu penisku di dalam liang memeknya … terasa liang memek Ibu berkedut – kedut kencang. Lalu … liang surgawinya jadi becek … !
Lalu Ibu menarik kedua bahuku, sehingga dadaku terhempas ke atas sepasang toketnya.
“Udah lepas Bu ?” tanyaku setengah berbisik.
Ibu menyahut lirih, “Iya … terlalu enak sih … lagian ibu pas sedang pengen banget … ooooooohhhh … “
Aku diamkan dulu penisku menancap di dalam liang memek Ibu yang sudah banjir lendir ini. Ibu pun memeluk leherku sambil merapatkan pipinya ke pipiku.
“Kalau gak mau becek, cabut dulu kontolmu, “ bisik Ibu, “Biar dikeringin dulu memeknya. “
“Jangan … aku tetap senang kok memek becek sehabis orgasme. Berarti Ibu sudah puas. Tinggal ngejar kepuasan untukku … “ sahutku sambil menggerakkan penis ngacengku perlahan – lahan.
Dalam posisi soft missionary, aku jadi bisa mengentot Ibu sambil menjilati lehernya, disertai gigitan – gigitan kecil seperti yang Ibu minta. Bisa menyedot – nyedot puting payudara kirinya sambil meremas – remas payudara kanannya pula. Bisa menjilati ketiaknya pula yang tidak berbau sedikit pun.
Namun malam itu Ibu terasa sangat bergairah untuk dientot olehku. Berbagai macam posisi dia minta. Aku hanya manut saja. Mau posisi doggy boleh. Posisi WOT juga boleh. Namun pada posisi WOT itulah Ibu orgasme lagi, setelah kami sama – sama keringatan.
Sampai akhirnya kembali lagi ke posisi soft missionary. Dan aku mulai merasakan sesuatu. Bahwa menyetubuhi Ibu malah lebih enak daripada menyetubuhi Mbak Ninies. Padahal Ibu sudah dua kali “turun mesin”, sementara Mbak Ninies belum pernah melahirkan. Harusnya Mbak Ninies lebih enak. Tapi kenyataan malah sebaliknya.
Apakah hal ini karena Ibu memberikan memeknya secara tulus ikhlas, sementara Mbak Ninies hanya ingin mengambil keperjakaanku semata ? Entahlah.
Yang jelas, makin lama aku makin menyadari bahwa menyetubuhi Ibu ini terasa lebih nikmat daripada menyetubuhi Mbak Ninies. Karena Ibu seperti ingin memuaskanku dalam setiap gerakan fisik kami berdua. Meski sudah tiga kali orgasme, Ibu masih bisa menggoyangkan pinggulnya sedemikian rupa, sehingga batang kemaluanku serasa dibesot – besot oleh liang sanggamanya.
Rintihan demi rintihannya cuma perlahan saja. Berarti beliau tetap mengontrol diri pada saat aku sewdang gewncar – gencarnya mewngayun penisku. Namun meski cuma rintihan yang nyaris tak terdengart, aku masih bisa mendengarnya, karena mulutnya berada di dekat telingaku.
“Waaaan … ooooo …. oooooohhhhh Waaaaaan …. kamu memang perkasa Waaaan … gak nyangka … gak nyangka kalau kepuasan ibu akan dialami dari anak ibu sendiri … ayolah Waaan … entot terussssss … ini udah mulai enak lagi Waaaan … ayooooo …. entot ibu segarang mungkin …. “
Kali ini aku pun merasa sudah mulai berada di detik – detik krusial. Maka ketika Ibu mulai menggelepar – gelepar lagi, aku pun menggencarkan entotanku. Sampai akhirnya kubenamkan penisku sedalam mungkin, tepat pada saat Ibu sedang terkejang – kejang. Mungkin Ibu juga akan mencapai orgasme yang kesekian kalinya.
Benar saja … ketika kubenamkan penisku sedalam mungkin dan tidak kugerakkan lagi ini, liang kewanitaan Ibu terasa menggeliat dan mengejut – ngejut indah. Pada saat ini pula penisku pun mengejut – ngejut sambil memuntahkan air mani di dalam liang surgawi ibuku.
Crooooottt … crottt … crooooooooooootttttt … crooot …crot … crooooooooootttttttttt … !
Aku menggelepar di atas perut Ibu, kemudian terkulai lunglai di dalam pelukannya.
“Dibarengin lagi ya, “ bisik Ibu sambil menciumi pipiku.
“Iya Bu … luar biasa enaknya. “
“Barusan ibu sampai lima kali lepas … kamu memang hebat Wan … “
Peristiwa indah ini terjadi dan terjadi terus pada hari – hari berikutnya. Kapan pun aku menginginkannya, Ibu selalui siap untuk meladeniku.
Namun aku tak sekadar ingin menjadikan Ibu sebagai pelampiasan nafsu birahiku. Aku pun ingin membahagiakannya dengan apa pun yang bisa kulakukan.
Bahkan aku sering melamun, seandainya aku sudah sukses, aku ingin merombak rumah tua itu menjadi rumah yang modern. Sedikitnya tiap kamar harus ada kamar mandinya masing – masing, lengkap dengan shower dan water heaternya. Tidak seperti saat itu, kamar mandinya cuma satu. Harus selalu mandi air dingin, dengan hanya memakai gayung plastik pula.
Padahal dalam kondisi Ibu yang tidak bisa melihat itu, sebaiknya ada kamar mandi yang bersatu dengan kamar Ibu. Supaya kalau Ibu mau mandi, tak usah keluar dulu dari kamarnya. Begitu pula kalau mau buang air, tak usah jauh – jauh pergi ke kamar mandi yang di luar kamarnya.
Beberapa hari kemudian, ketika aku sedang bekerja, aku dipanggil oleh Bu Laila Qodrati, anak tunggal owner perusahaan tempatku bekerja. Tentu saja aku kaget sekali, karena mendadak dipanggil oleh orang nomor dua di perusahaan ini.
Lalu bergegas aku naik lift menuju lantai lima.
Setelah berada di lantai lima, aku mengetuk pintu kaca blur yang bertuliskan nama orang kedua di perusahaan ini.
Terdengar suara wanita dari dalam, “Masuk … !”
Dengan lutut agak gemetaran aku membuka pintu kaca itu, lalu membungkuk di depan meja kerja Bu Laila sambil berkata, “Selamat pagi, Bu Boss. “
“Pagi, “ Bu Laila mengangguk sambil tersenyum, “Duduklah. “
Lalu aku duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Bu Laila.
Beliau memandang ke arah layar laptopnya sesaat, lalu menatapku sambil berkata, “Nama lengkapmu Wawan Darmawan ya ?”
“Siap, betul Bu Boss. “
“Kamu sudah setahun bekerja di sini ya ?”
“Siap, betul Bu Boss. “
“Dari catatan yang masuk ke meja kerjaku ini, prestasi kerjamu bagus, Wan. “
“Siap Bu Boss. “
“Kamu bisa nyetir mobil ?”
“Siap, bisa Bu Boss. “
“Punya SIM ?”
“Siap, punya Bu Boss. “
“Memangnya kamu punya mobil ?”
“Tidak Bu Boss. Tapi sebelum saya bekerja di sini, saya pernah jadi sopir angkot, lalu jadi sopir taksi juga Bu Boss. “
“Sanggup nyetir ke luar kota ?”
“Siap, sanggup Bu Boss. “
“Umurmu sekarang duapuluhsatu, berarti waktu jadi sopir angkot dan taksi itu masih di bawah duapuluh taun ya ?”
“Siap, betul Bu Boss. “
“Di usia semuda itu kamu sudah jadi sopir taksi segala. “
“Siap, betul Bu Boss. “
“Sekarang masih suka jadi sopir di luar jam kerja ?”
“Siap, tidak lagi Bu Boss. Saya ingin konsentrasi bekerja di sini. “
“Jadi sopir taksi kan lumayan banyak hasilnya. “
“Siap, tidak selalu begitu Bu Boss. Lagipula hidup saya jadi tidak teratur seperti sekarang. “
“Begitu ya. Mmm … kamu sanggup nyetir mobilku ?”
“Siap, sanggup Bu Boss. “
“Aku takkan menjadikanmu sopirku. Tapi untuk menjadi pendampingku, karena banyak masalah perusahaan yang harus dirahasiakan. Sedangkan sopir pribadiku sudah terlalu tua. Kalau nyetir ke luar kota, pulangnya suka sakit, lalu lama tidak masuk kerja. “
“Siap Bu Boss. “
Kemudian Bu Laila mengeluarkan secarik kartu nama.
“Ini kartu namaku. Alamat rumahku tercantum di sini, “ ujarnya sambil menyerahkan kartu nama itu padaku, “Hitung – hitung test, besok kamu harus nyetirin mobilku ke Jakarta aja. Kalau cara nyetirmu bagus, nanti kamu harus nyetirin aku ke kota yang lebih jauh dari Jakarta. “
“Siap Bu Boss, “ sahutku sambil membaca kartu nama puteri tunggal owner perusahaan itu. Kemudian memasukkannya ke dalam dompetku.
“Tapi ingat … kamu jangan ngomong apa – apa ke karyawan lain nanti ya. “
“Siap Bu Boss. “
“Kalau ada yang nanyain, bilang aja cuma dikasih nasehat olehku. “
“Siap. “
“Jadi, besok sebelum jam tujuh kamu harus sudah tiba di rumahku. Dari rumahku, kita langsung berangkat ke Jakarta. Oke ?”
“Siap Bu Boss. “
“Ingat … sama karyawan lain jangan bilang – bilang kamu akan nyetirin mobilku ya. Pokoknya bilang aja bahwa kamu hanya dikasih pengarahan olehku gitu. “
“Siap Bu Boss. “
“Ohya. besok pakaianmu casual aja. Jangan pakai seragam kantor. “
“Siap Bu Boss. “
Aku kembali ke ruang kerjaku dengan semangat yang mulai menggebu – gebu di dalam batinku. Karena seandainya aku nyetirin mobil Bu Laila, mungkin aku bisa dekat dengan seorang decision maker (pengambil keputusan) di dalam perusahaan. Maka dengan sendirinya aku hgarus bersikap sebaik mungkin padanya.
Keesokannya, jam enam pagi aku sudah mandi dan berdandan. Lalu aku pamitan kepada Ibu, bilang bahwa aku ditugaskan untuk ke Jakarta. Jadi mungkin saja aku mau nginap di Jakarta nanti. Tak lupa aku pun memberikan uang untuk makan selama aku tidak di rumah.
“Gak usah masak Bu. Beli saja nasi bungkus di warung nasi itu, supaya Ibu tidak repot, “ kataku setelah mencium pipi kanan dan pipi kirinya.
Ibu hanya mengiyakan dan berkata, “Hati – hati di jalan Sayang. “
“Iya. Ibu juga jangan ngeluyur ya. Ibu hanya boleh ke warung nasi saja. Jangan ke mana – mana. “
“Iya, ibu mau selonjoran aja seharian di depan tivi, “ sahut Ibu sambil menepuk – nepuk bahuku.