Kisah Menodai Bidadari Kampus Chapter 5
? NOVELBASAH ? Aku sempat bingung saat membuka mata dan menemukan diriku berbaring di sofa. Rupanya semalam aku ketiduran di ruang tamu sementara Deni, Roy, dan Evan melanjutkan pesta kecil mereka bersama Harumi. Sial, berarti aku kelewatan berbagai acara seru semalam! Segera aku berlari menuju kamar tempat aku memperkosa Harumi kemarin. Saat kubuka pintunya, ternyata mereka semua masih ada di sana. Harumi tampak tertidur pulas dengan tubuh yang masih telanjang bulat, kedua tangannya terikat di atas kepalanya. Penis karet yang kemarin kugunakan untuk menyiksanya, tampak masih tertancap di dalam kemaluannya yang kelihatan agak membengkak, sementara di sekitarnya tampak bekas sperma kering. Di sebelah kiri dan kanannya ada Deni dan Roy yang juga belum bangun, sementara Evan tidur di lantai, entah bagaimana ceritanya. Melihat sang bidadari dengan tubuh molek yang tidak tertutup sehelai benang pun, penisku langsung mengeras seketika. Aku naik ke atas ranjang itu pelan-pelan supaya tidak ada yang bangun. Kutindih tubuh Harumi yang telentang, lalu mulutku menerkam buah dadanya. Ketika kugigit puting susunya, Harumi tersentak kaget dan mengangkat kepalanya. Sebelum ia sempat mengeluarkan suara, langsung kulumat bibirnya supaya tidak berisik. Lidahku mulai menerobos masuk ke dalam mulutnya yang mungil, kemudian menari-nari di dalamnya. Sementara itu kedua tanganku kembali meremas-remas payudaranya yang tidak pernah membuatku bosan. Nafsuku kembali memuncak, aku harus memperkosa gadis ini sekali lagi! Saat aku hendak mencabut penis karet dari vaginanya, tiba-tiba para cewek masuk ke ruangan itu.
“Gila Dim sampe pagi masih aja lu entotin itu lonte?” canda Mita.
“Apaan, enak aja lo, semalem gue ketiduran di sofa weh, ini gue baru mau mulai, eh lo pada masuk,” jawabku dengan ketus.
“Gantian dong sama kita, kan kita juga mau maen sama dia,” ujar Rina yang membawa tali kekang dan kalung yang biasa digunakan untuk anjing peliharaan.
“Tolong dong gue capek banget nih, baru juga tidur satu jam,” kata Harumi lirih, dengan muka yang benar-benar memelas.
“Lo masih mau pulang ke rumah apa pengen mati di sini, hah? Kalo masih pengen pulang, ikutin perintah kita!” bentak Deni yang ternyata sudah bangun, mungkin karena percakapan kami yang gaduh.
Rina menyuruh Harumi untuk bangun dan merangkak ke arah pintu. Kemudian ia memasang kalung itu di leher Harumi, mengencangkannya sampai leher Harumi tampak tercekik, lalu menyambungkannya dengan tali kekang.
“Karena lo orangnya anjing, udah pantes lo kita jadiin anjing peliharaan nih,” ujar Rina sambil menarik-narik tali kekangnya dan menuntun Harumi merangkak keliling kamar. Untuk melengkapi peran anjingnya, Devi mengambil cambuk pinjamanku yang tergeletak di lantai, lalu memasukkan gagangnya ke lubang pantat Harumi. Gadis itu merintih kesakitan ketika Devi memaksakan gagang cambuk itu supaya masuk seluruhnya ke dalam anus Harumi.
“Nah kan sekarang lengkap ada ekornya juga,” kata Devi, disambut tawa anak-anak yang lain. Harumi benar-benar merasa terhina diperlakukan seperti itu, kepalanya tertunduk malu menghadap lantai sambil mulai menangis tersedu-sedu.
“Gue dari bangun belom kencing nih, WC-nya jauh, gue kencing di sini aja ya,” kata Roy.
Cowok-cowok yang lain menyetujui ide Roy. Kami berdiri mengelilingi anjing cantik yang bertumpu dengan kedua tangan dan lututnya di atas lantai. Kami arahkan penis kami yang tegang – biasanya orang menyebut ereksi penis di pagi hari dengan istilah “morning boner” – ke arah Harumi, lalu kami mulai mengencingi gadis malang itu. Harumi berusaha menutupi wajahnya supaya tidak terkena air kencing kami, namun kami menendang-nendang tubuhnya hingga jatuh telentang sehingga kami bisa mengencingi seluruh bagian tubuhnya. Muka Harumi tampak menahan jijik yang teramat sangat, mungkin karena kencing cowok di pagi hari biasanya berbau lebih pesing dan jumlahnya sangat banyak.
“Kebetulan kan dia belom mandi dari kemaren, sekalian kalian mandiin pake aer kencing ya guys,” ledek Mita, disambut dengan tawa kami semua.
“Sekarang gantian, elo yang kencing!” perintah Devi.
Melihat Harumi yang masih dalam posisi menungging tanpa memberi respon apapun, Evan dan Roy berinisiatif untuk menggelitiki ketiak Harumi dengan brutal, sementara aku dan Deni menggelitiki telapak kaki Harumi.
“Duh geliii..! Ampunnn ga tahannnn….”
Ternyata dugaan kami benar, orang yang kegelian lama-lama pasti tidak dapat menahan kencingnya. Sebelum Harumi sempat mengompol, kami mengangkat pahanya yang sebelah kiri, sehingga ketika pipisnya keluar, ia benar-benar mirip anjing yang sedang buang air. Kami semua pun menertawakan adegan memalukan tersebut, sementara Devi merekamnya di HP. Sesudah itu, kami menyuruh Harumi untuk menyeka air kencingnya di lantai dengan rambutnya yang indah, lalu menjilati sisanya hingga benar-benar bersih.
Kemudian Devi menyeret Harumi ke luar pondok, diikuti oleh kami semua di belakangnya. Ternyata semalam turun hujan, sehingga tanah di luar agak becek. Saat diseret menuju ke halaman, Harumi enggan untuk merangkak ke luar, nampaknya ia tidak mau menyentuh tanah yang kotor itu.
“Sok bersih banget sih lo, meki lo aja lebih kotor dari tanah itu!” bentak Mita. Karena Harumi bersikeras untuk tidak menginjak tanah dengan tangan dan lututnya yang telanjang itu, aku pun mengambil tindakan. Aku mengambil sebilah papan yang tergeletak di teras, bentuknya mirip penggaris kayu yang biasa dipakai di sekolah, namun lebarnya sekitar 10 cm. Kugunakan kayu itu untuk memukul pantat Harumi sekeras-kerasnya.
“Aaaaaakh! Sakittt!” pekik Harumi. Pukulan yang kuberikan cukup keras hingga tubuhnya terdorong ke depan, beranjak dari teras hingga menyentuh tanah. “Plakkk!” kali ini papan kayu itu menghantam bulatan pantat Harumi yang sebelah kanan. Pukulan-pukulan itu terbukti efektif memaksa Harumi untuk terus merangkak ke depan, sehingga Devi menyuruhku untuk terus memukuli pantat Harumi, yang tentu saja kulakukan dengan senang hati.
Rombongan kami terus berjalan menyusuri hutan yang sepi, dipimpin oleh Devi di barisan paling depan yang menuntun Harumi yang merangkak di belakangnya, layaknya majikan yang sedang menuntun anjing peliharaannya berjalan-jalan. Tangan dan lutut Harumi yang tadinya putih bersih kini dikotori oleh tanah yang becek. Setiap beberapa langkah sekali, kuayunkan papan kayu itu ke pantat Harumi, sehingga kedua belah pantatnya kini berwarna merah padam. Jeritan yang keluar dari mulutnya tiap kali kupukul pantatnya memecah kesunyian hutan itu. Gagang cambuk yang menancap di anusnya kelihatan sangat menyiksanya setiap kali ia merangkak ke depan. Tidak hanya itu, Devi juga memaksa Harumi untuk memungut ranting-ranting yang ia temukan sepanjang perjalanan dengan menggunakan mulutnya, persis seperti anjing. Ranting-ranting itu kemudian dikumpulkan ke dalam kantong plastik yang dibawa Mita.
Setelah berjalan (dan merangkak) beberapa jauh, kami mencium bau yang agak menyengat. Ternyata bau itu berasal dari sebuah kubangan lumpur, mungkin lumpur itu bercampur dengan kotoran binatang, entahlah.
“Gue mau liat anjing kita guling-guling di lumpur dong,” pinta Rina. Harumi menggelengkan kepalanya, lalu berusaha untuk berpijak kuat-kuat di atas tanah supaya tidak diseret masuk ke dalam kubangan lumpur yang menjijikan itu. Namun usahanya sia-sia ketika Roy menendang pantat Harumi sekuat tenaga, hingga gadis malang itu terjerembab ke dalam kubangan lumpur tersebut. Kemudian kami menendang-nendang tubuh Harumi hingga seluruh tubuhnya yang tadinya putih bening kini berlumuran lumpur. Aku dapat melihat ekspresi puas para cewek yang baru saja membuat gadis paling cantik di kampus kini terlihat seperti seonggok kotoran yang menjijikkan.
Setelah puas, kami mengeluarkan Harumi dari lumpur, lalu membaringkannya di atas tanah. Devi menyuruh Deni dan Evan untuk merentangkan paha Harumi hingga vaginanya terpampang jelas. Kemudian Mita berjongkok tepat di hadapan selangkangan Harumi, kemudian mengeluarkan ranting-ranting dari kantong plastik yang ia bawa.
“Sekarang kita mau liat meki lo bisa dilebarin seapa sih, biar kita tau berapa banyak kontol yang bisa masuk ke sana!” kata Devi.
“Jangan please, rantingnya kan kotor..” ujar Harumi memelas, saat Mita memasukkan ranting pertama ke dalam liang kemaluan Harumi. Lima ranting pertama dimasukkan ke dalam vagina Harumi tanpa kesulitan yang berarti, sembari kami terus memegangi tubuh Harumi kuat-kuat supaya ia tidak memberontak. Harumi mulai merintih kesakitan ketika ranting yang keenam dimasukkan, demikian juga dengan ranting yang ketujuh dan kedelapan. Saat ranting yang kesembilan dimasukkan, vaginanya terlihat penuh sesak oleh delapan ranting sebelumnya, sehingga Mita harus sedikit memaksakan ranting tersebut supaya bisa masuk. Ranting yang kesepuluh membutuhkan usaha ekstra, sehingga Harumi menjerit kesakitan saat Mita menyodok-nyodok ranting tersebut dengan brutal ke dalam vagina Harumi. Permukaan ranting yang kasar pasti melukai dinding vagina Harumi, sehingga gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil membanting-bantingkan pantatnya di atas permukaan tanah. Walaupun nampaknya sudah tidak muat lagi, Mita tetap memaksakan ranting yang kesebelas untuk masuk ke dalam vagina Harumi.
“Ampunnnn sakit banget, please udahan dong!”
“Ini baru ranting loh, Har. Kan lo harus siap buat nerima dua tiga kontol sekaligus, kan pasti lebih gede dari ranting,” ujar Mita dengan nada yang dibuat seolah-olah menggurui, sambil terus berusaha untuk memasukkan satu lagi ranting ke dalam kemaluan Harumi. Dengan susah payah, akhirnya ranting yang kesebelas masuk ke dalam. Vagina Harumi terlihat melar hingga ke titik maksimalnya, seolah sedikit lagi hampir sobek. Dapat kulihat tetesan darah mengalir ke luar dari vaginanya, apabila tidak segera diobati, gadis itu mungkin bisa meninggal karena iritasi pada organnya yang paling sensitif. Namun itu bukan urusanku, yang penting aku dapat merasa senang melihat sang bidadari kampus ini meronta-ronta kesakitan di hadapanku, dengan tubuh molek yang telanjang bulat dan berlumuran lumpur.
Tiba-tiba permainan kami diganggu oleh tetes-tetes hujan yang membasahi tubuh kami. Gerimis yang turun memaksa kami untuk menyudahi keseruan kami.
“Mau kita apain nih jablaynya?” tanya Rina.
“Kita gantung aja di pohon depan pondok, sekalian biar badannya dicuci aer ujan. Kan entar kita mau pake lagi, mesti bersih lah,” usul Deni. Semua menyetujui ide Deni. Kami menyeret Harumi kembali ke depan pondok, lalu mengikat kedua tangannya ke atas, kemudian menggantungkannya ke dahan sebuah pohon di depan pondok. Kakinya terangkat beberapa senti dari permukaan tanah, sehingga tubuhnya terayun-ayun karena tertiup angin yang cukup kencang.
Saat yang lainnya kembali masuk ke dalam pondok untuk berteduh dari hujan yang semakin deras, aku tetap berdiri memandangi tubuh Harumi yang sempurna itu. Dengan bantuan air hujan, kuusap-usap badan Harumi untuk membersihkan lumpur yang masih menempel di badannya, hingga kulitnya kembali terlihat putih mulus. Gadis itu masih saja menangis karena rasa sakit pada vaginanya. Air matanya masih turun mengalir membasahi pipinya, bercampur dengan tetesan air hujan. Entah mengapa aku ingin membuatnya lebih menderita lagi. Kuambil sebatang rotan yang kemarin dipakai untuk mencambuki Harumi, lalu kuayunkan ke tubuhnya yang basah kuyup.
“Ctarrrr!”
“Awwhhhh! Cukup dong Dim..”
Jeritan kesakitan Harumi semakin membuatku bernafsu. Dengan tempo cepat kucambuki sekujur tubuh Harumi, mulai dari payudaranya yang montok, perutnya yang rata, pahanya yang sekal, punggungnya yang mulus, hingga pantatnya yang kenyal. Suara pukulan rotan yang mendarat di tubuh Harumi bergantian dengan suara jeritan yang keluar dari mulutnya, diiringi dengan bunyi hujan yang semakin lebat. Ketika jeritan Harumi semakin lama semakin melemah, aku takut dia pingsan lagi. Kuhentikan cambukan-cambukanku, lalu kuhampiri gadis itu dan kupeluk tubuhnya untuk memastikan dia masih sadar. Kuelus-elus punggungnya yang dihiasi garis-garis merah bekas cambukanku barusan, rasa ibaku perlahan mulai timbul saat gadis cantik di dekapanku ini kembali menangis tersedu-sedu sambil menggigil kedinginan. Bagaimana tidak, aku yang berpakaian lengkap saja merasa angin dingin pagi ini menusuk tulangku, apalagi Harumi yang telanjang bulat.
Untuk memberikannya sedikit “kehangatan”, kuputuskan untuk menyetubuhi Harumi sekali lagi. Kukeluarkan ranting-ranting dari kemaluannya; ujung ranting-ranting tersebut sedikit berlumuran darah akibat luka pada bagian dalam vagina Harumi. Tanpa basa-basi, kugantikan posisi ranting-ranting itu dengan penisku yang sudah tegang sedari tadi.
“Akhhhh perihhh…” Harumi merintih kesakitan. Gesekan antara penisku yang sudah sangat keras dengan dinding vaginanya yang terluka pasti terasa sangat menyakitkan. Kupeluk tubuh Harumi erat-erat supaya dadaku menempel dengan payudaranya, sementara tanganku meremas-remas pantatnya. Kugerakkan pinggulku maju mundur dengan cepat; aku tidak mau berlama-lama bercinta sambil kehujanan seperti ini, walaupun batinku ingin supaya penisku tidak akan pernah lepas dari jepitan vagina Harumi yang meskipun sudah dimasuki bermacam-macam benda dari kemarin, namun masih terasa sangat sempit. Otot-otot vaginanya seolah mengurut batang penisku, membuatnya tidak dapat menahan cairan di dalamnya lebih lama lagi. Hanya dalam beberapa menit, penisku menyemburkan banyak sekali sperma ke dalam rahim Harumi. Setelah kemarin hanya bisa menikmati mulut dan anusnya, akhirnya penisku seolah mengucapkan terima kasih karena telah berhasil menuntaskan misinya di dalam vagina sang bidadari kampus.
Walaupun penisku mulai kembali menyusut dan keluar dengan sendirinya dari liang senggama Harumi, aku tidak melepaskan pelukanku pada tubuh gadis jelita itu. Kupandangi wajahnya yang meskipun tampak kelelahan dan menderita, namun masih memancarkan kecantikannya.
“Dim, gue laper. Dari kemaren belom makan..” ujar Harumi tiba-tiba. Mukanya yang memelas kembali membangkitkan rasa kasihanku.
“Oke bentar gue ambilin makanan yah kalo ada sisa di dalem. Be right back, cantik..”
Aku meninggalkan Harumi yang masih tergantung di pohon. Ternyata teman-teman yang lain sedang sarapan bersama di dalam pondok. Setelah ikut makan bersama-sama, aku pun lupa ada gadis yang kedinginan dan kelaparan di luar sana yang masih menungguku membawakan makanan.