Ibuku Tunanetra Chapter 32

A+ A-

Cerita Sex Bersambung Ibuku Tunanetra

Kisah Ibuku Tunanetra Chapter 32

? NOVELBASAH ? Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan berputar terus. Tiada yang bisa menghentikannya.

Tanpa terasa setahun telah berlalu. Suasana memang sudah banyak yang berubah.

Pabrikku, hibah dari Tante Martini itu berkembang dengan sangat pesatnya. Karena Mbak Vita memang bisa diandalkan. Dia bisa mencerna konsep – konsep baruku, kemudian dilaksanakannya dengan baik.

Sementara itu, Wati sudah menikah dengan seorang pengusaha yang lumayan mapan, meski usianya sudah 40 tahunan, 15 tahun lebih tua daripada Wati.

Aku ikut bahagia mendengar curhatan Wati. Bahwa lelaki itu mau menerima Wati apa adanya, termasuk tentang keperawanannya yang sudah tiada.

Dengan sendirinya Wati diboyong oleh suaminya, sehingga Ibu jadi sendirian di rumah. Tapi untungnya ada saudara sepupu Ibu yang hidup menjanda dan bersedia tinggal di rumahku. Untuk menemani dan meladeni kebutuhan Ibu sehari – hari. Tentu saja aku memberikan gaji tiap bulan pada Bi Elin, demikian aku memanggilnya karena ia kurang ngepas kalau dipanggil Tante (maklum dia orang kampung, meski statusnya adik sepupu Ibu). Bahkan aku memberinya gaji yang jauh lebih besar daripada gaji pembantu pada umumnya.

Lalu apakah aku sendiri merasa birahiku sudah mantap dan fokus terhadap Anneke seorang ?

Inilah masalahnya. Setiap kali dekat dengan perempuan setengah baya, selalu saja hasrat birahiku datang menggodaku.

Memang aku selalu berusaha untuk menindasnya dengan caraku sendiri.

Tapi pada suatu malam … ketika aku sedang berada di rumahku, tampak galon air mineral di dispenser kamarku sudah habis. Padahal aku haus sekali. Setahuku di dapur ada dispenser juga. Dalam keadaan cuma bercelana training tanpa baju, aku keluar untuk mengambil segelas air mineral untuk pelenyap dahagaku.

Sebelum tiba di dapur, aku melewati ruangan cucian yang sudah bersih dan meja setrikaan. Saat itulah aku melihat sesuatu yang luar biasa. Bahwa Bi Elin sedang menyetrika sambil berdiri menghadap mejatulis lamaku yang sudah dijadikan meja setrikaan, dengan mengenakan gaun rumah yang ke atasnya berwarna pink dengan polka dot putih, sementara ke bawahnya rok mini berwarna pink polos. Gaun tank top itu menyatu bagian atas dengan rok mininya. Yang membuatku terbengong agak jauh di belakangnya, adalah betapa tipisnya pakaian yang ia kenakan itu, sehingga dari jauh pun kelihatan bentuk bokong indahnya dari balik rok mini transparant itu. Sehingga aku terlongong di belakangnya. Lalu aku mendekati adik sepupu Ibu yang berbadan putih mulus dan berusia 28 tahunan itu.

Bi Elin sedang menyetrika sambil mendengarkan musik lewat ponsel dan earphonenya.

Dan semakin jelas saja bokong indah Bi Elin yang terbayang dari luar rok mini pinknya itu. Tapi dia belum sadar juga bahwa aku sudah berada di belakangnya. Dan ingin meyakinkan, benarkah ia tidak bercelana dalam ? Karena itu aku berjongkok sambil menengok ke dalam rok mini itu. Maaak … dia memang tidak mengenakan celana dalam.

Kalau memperturutkan kata hati, ingin langsung kupagut memek yang sedang berada di atas wajahku itu, karena aku jadi menelentang dengan wajah menghadap ke arah sepasang kaki dan yang berada di antara sepasang pangkal paha putih itu.

Tapi aku takut hal seperti itu akan membuatnya terlalu kaget. Karena itu aku berdiri lagi di belakang Bi Elin yang tetap asyik mendengarkan musik lewat handsfree ponselnya.

Setelah berdiri di belakangnya, langsung kusergap pinggangnya sambil menciumi tengkuknya. Hal itu pun membuatnya sangat terkejut. Dicabutnya earphone dari telinganya, lalu menoleh dengan mata terbelalak, “Aduuuh Wawan … kok bikin kaget aku aja sih ?”

“Cuma mau nanya kenapa belum tidur Bi ?”

“Ini nyelesaikan setrikaan udah numpuk dari kemaren. “

“Terus kenapa Bi Elin nggak pakai celana dalem ?” tanyaku perlahan, dengan tangan langsung menyelinap ke balik rok mininya dan langsung memegang memeknya yang berjembut sedikit dan jarang sekali.

“Celana dalamku dicuci semua, gak ada yang bersih satu pun. Waaan … jangan megang – megang memek dong … Waaan … “ ucapnya setengah berbisik. Mungkin takut kalau Ibu terbangun mendengar suaranya kalau terlalu keras.

“Bi … aku kan masih bujangan. Wajar kalau aku menganggap memek ini sebagai sesuatu yang sangat menggiurkan … “ sahutku sambil menyelinapkan jariku ke celah memeknya.

“Tapi Wan … ooooh … kamu nakal Wan … kalau udah dipegang – pegang memek gini, aku jadi langsung kepengen … ooooh … Waaaaan … oooooh … “ rintih Bi Elin dengan suara seperti berbisik terus.

“Ayo kita lakukan di kamarku ya Bi, “ ajakku sambil menarik pergelangan tangannya.

“Iii … iyaaa … tapi aku mau pipis dulu ya, “ ucapnya.

“Ayolah … di kamarku kan ada kamar mandinya. Di sana aja pipisnya, “ ucapku sambil menarik pergelangan tangannya sambil melangkah ke kamarku.

Tak terdengar lagi suara Bi Elin, karena mau melewati pintu kamar Ibu. Kemudian kami membelik ke kanan, menuju pintu kamarku.

Setelah berada di dalam kamarku yang pintunya sudah ditutup dan dikuncikan, barulah Bi Elin berani berbicara, “Ini beneran mau ngemplud Wan ?”

“Iya bibiku sayaang … aku udah gak tahan melihat Bibi yang manis dan menggiurkan ini, “ sahutku sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya. Lalu mengecup bibirnya tanpa keraguan lagi.

Bi Elin memejamkan matanya. Kemudian berkata sambil melepaskan dekapanku, “Mau pipis dulu ya. Takut ngompol di tengah jalan nanti … “

Aku mengangguk. “Cuci memeknya yang bersih pakai sabun ya. “

Bi Elin mengangguk sambil tersenyum manis.

Setelah Bi Elin masuk ke kamar mandi, barulah aku sadar bahwa tadi aku keluar dari kamar karena haus dan mau mengambil air minum dari dispencer dapur. Dan sekarang masih haus. Tapi malas keluar lagi. Karena itu kuambil saja sebotol softdrink dari kulkas. Dan menikmati softdrink itu sambil menunggu Bi Elin di kamar mandi.

Tak lama kemudian Bi Elin muncul kembali dari ambang pintu kamar mandi. Sambil tersenyum – senyum padaku.

“Rasa ngimpi keponakan yang ganteng ini kok mau sama aku, “ ucapnya sambil melepaskan gaun tipis transparan itu. Dan jadi langsung telanjang, karena di balik gaun tipis itu tiada apa – apa lagi selain tubuh langsingnya yang putih mulus. Memang keluarga dari pihak Ibu hampir semuanya berkulit putih mulus. Bahkan menurut keterangan Tante Ros, perempuan di kampung ibuku kebanyakan berkulit putih kekuningan. Seperti kulit amoy – amoy. Mungkin dahulu ada sejarahnya, kenapa kulit perempuan di kampung ibuku nyaris tidak ada yang gelap warna kulitnya.

Melihat Bi Elin sudah telanjang, aku pun melepaskan celana trainingku, sebagai satu – satunya benda yang melekat di tubuhku.

Bi Elin terlongong setelah menyaksikan bentuk alat vitalku. “Wan … kontolmu gede banget … panjang pula … “ ucapnya sambil memegang batang kemaluanku dengan tangan terasa agak gemetaran.

“Emangnya kontol mantan suami Bi Elin segede apa ?” tanyaku.

“Gak inget lagi. Aku cuma satu kali digauli sama dia. Terus kami cerai. Karena kami tidak saling mencintai. “

“Kok bisa ?”

“Kami kawin gara – gara digerebek warga. Karena di kampung gak biasa ada cowok bertamu malam – malam. Padahal cowok itu bukan pacarku. “

“Terus ?”

“Perkawinan kami hanya berjalan seminggu. Lalu bercerai. “

“Dan Bibi cuma merasakan digauli satu kali aja ?”

“Iya. Lalu aku jadi TKW di Hongkong. “

“Di Hongkong sih pasti punya pacar kan ?”

“Boro – boro punya pacar. Tugasku cuma ngurusin seorang nenek – nenek. Diem di rumah terus, berdua sama si nenek itu. Makanya cuma setahun aku kerja di Hongkong. Lalu pulang. Pokoknya aku tidak pernah nemu cowok yang cocok. Jadi … sekarang ini bakal jadi pengalaman keduaku Wan. “

Baru sekali ini aku mendengar latar belakang kehidupan Bi Elin. Tadinya aku hanya tahu bahwa dia seorang janda, yang masih lumayan muda. Cuma itu saja yang aku tahu. Ternyata seperti itu latar belakang kehidupannya.

“Sama aku sih santai aja Bi, “ ucapku sambil meraihnya ke atas bed.

Bi Elin pun tersenyum – senyum sambil celentang di atas bedku.

Lalu kuhimpit tubuh telanjang yang mulus dan terasa hangat ini. Dengan gairah yang luar biasa bergejolaknya. Maklum sudah lebih dari seminggu aku tidak bersetubuh. Karena tenggelam dalam kesibukan di pabrik.

Dengan sepenuh gairah aku pun mulai dengan mencium bibir Bi Elin yang tipis merekah itu. Kemudian menurun ke toketnya yang tidak besar tapi kecil pun tidak. Kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya.

Tubuh Bi Elin pun mulai menghangat. Lalu aku melorot turun, sampai wajahku berhadapan dengan memeknya yang berbulu jarang sekali. Itu pun hanya tumbuh di atas kemaluannya.

“Jembutnya jarang ya, ” ucap Bi Elin.

“Gak apa. Zaman sekarang malah banyak yang mencukur memeknya sampai gundul, “ sahutku.

“Aku sih belum pernah nyukur jembut. Seperti ini aja adanya sejak dahulu. Oooh … mau diapain Wan ?” tanyanya ketika aku mulai menciumi memeknya.

“Santai aja Bi. Aku mau jilatin memek Bibi. Makanya tadi kuminta dicuci pakai sabun, biar jangan bau. “

“Hihihi … memekku gak bau Wan. Aku sih keputihan aja gak pernah. DIjamin bersih memekku sih. Kan seumur hidup baru dipakai satu kali. “

“Iya, “ sahutku memperhatikan memek Bi Eli yang tertutup rapat. Lalu kungangakanj, sampai bagian dalamnya yang berwarna merah jambu itu tampak jelas. Memang tiada bau yang kurang sedap. Bahkan tercium harum sabun mandiku. Pasti tadi dia benar – benar mencuci memeknya dengan sabun.

Bersambung : Ibuku Tunanetra Chapter 32

Comment